Sunday, February 8, 2015

Jurnalis Bukan Profesi Ekslusif 

Lima tahun lebih menjadi penulis rekontruksi di selatan Kabupaten Malang, tidak membuat saya lebih jelas memandang seberapa parah kehidupan. Beberapa hal mengaburkan batas pandang antara kebenaran dan kebaikan. Saya sepakat, kenyataan pahit pun musti dikabarkan. Belum tentu benar itu baik, kebaikan itu benar.

Seorang polisi pernah mengatakan, bila ia menjalankan tugasnya sebagaimana aturan berlaku dan nurani, maka akan banyak orang ditangkapnya. "Bila mata terpejam, semua bisa ditangkap, bila mata terbuka, tidak bisa kita menangkap semua orang karena kesalahannya".

Seorang rampok juga pernah berceletuk, "Tidak semua orang saya jambret". Preman yang saya kenal pun menyebut "bila seorang maling pun punya rejeki dari Atas. Tidak perlu berlebihan merasa memiliki arti".

Dalam hati, aku menerima pernyataan-pernyataan itu. Suatu yang berlebihan selalu tidak baik. Memandang sesuatu, membela kebenaran dan kebaikan pun tak 'seharusnya' total berlebihan. Mengalir saja, tanpa tujuan dan alasan, kadang perlu dikandung diri. Ikhlas, sehingga tidak terlalu fatal bersalah jika ada "kepentingan lain".

Menjadi wartawan, "Semua peristiwa dan kejadian bisa saja dikabarkan. Tapi tidak semua baik dikabarkan". Nanti, tergantung rasa malas, mood, pertimbangan lain dan sanksi juga kekuatiran dampak. Tanpa "membaca" dampak berita, seorang wartawan menjadi bodoh. Lebih-lebih jika berdampak pada kemanusiaannya sendiri.

Dari lima tahun di selatan, saya mempelajari karakter beberapa macam wartawan. Motivasi mereka, gaya, teknis dan pilihan-pilihan mereka. Adakala seorang wartawan menjadi "abu-abu", kalah dengan situasi, tunduk pada uang, terseret arus, berpolitik, membela kepentingan besar ataupun terbiasa menjadi biasa saja.

Ada wartawan dan jurnalis. Tanpa membedakan esensi kerjanya, Saya sepakat menyebut wartawan adalah pekerjaan memberitakan peristiwa 'terpilih' rutin. Lepas dari kesadaran personal seperti pada kemanusiaan ataukah kebenaran. Sedang jurnalis, musti menjaga kesadaran akan dua hal itu.

Artinya, wartawan bekerja sebagai pelaksanaan tugas pokok sehari-hari. Memberitakan peristiwa. Sementara jurnalis menyisipkan 'nilai-nilai' humanis dalam karyanya, senyampang alam bawah sadar--membela kemanusiaan, menentang keadilan dan menjalankan fungsi media sebagai sosial kontrol, edukasi.

Nilai signifikan produk wartawan, menurut saya perlu menekankan nilai sosial kontrol dan edukasi. Ya, sebab menurut penulis, lebih baik berkarya tidak sekedar menyampaikan nilai informasi dan entertainmen. Nilai sosial kontrol, edukasi, kritik dan perbaikan sistem yang bobrok menjadi keutamaan tujuan jurnalis.

Di selatan, sebatas pembagian karakter dari motivasi kerja. Masing-masing bekerja selayaknya wartawan. Meski tidak semua melaksanakan nilai sang jurnalis. Dua hal dapat menjadi contoh yakni tidur, makan, guyon. Hanya orang-orang tertentu, wartawan berdiskusi, "menularkan ilmu", menyebar wawasan. Semua tidak lepas dari motivasi kerja dan karakter personal.

Tiga model wartawan yakni wartawan biasa, sibuk, setengah hati. Wartawan biasa akan melaksanakan pekerjaan sesuai porsinya. Wartawan sibuk selalu memanfaatkan waktu untuk berkarya. Entah karena memandang kemanusiaan ataukah kepentingan tertentu. Ada pula setengah hati. Ia memilih "tidur" ataukah liputan bila ada mood.

Dari sudut waktu, ada wartawan sesuai jam kerja atau setengah hari (8 jam kerja), wartawan kala-kala sesuai pilihan mood atau nilai bobot berita dan ada pula wartawan silaturahim. Pada momen tertentu ia datang. Menyapa dan bersalaman.

Nah, status seorang wartawan juga menentukan nilai kerjanya. Kecenderungan sudah berkeluarga, boleh jadi wartawan siang-sore yang "tidak mungkin" melihatnya di TKP jika peristiwa malam hari. Adapula yang tergantung mood meski statusnya sudah beristri. Kecuali acara kebersamaan semisal karaoke malam.

Dari sudut pentingnya menjaga relasi, ada wartawan yang menyadari pentingnya menjaga sumber informasi. Ada pula yang tidak menyadari tapi 'membeo' wartawan sosok pertama--karena kualitas skill kurang mumpuni dalam hal komunikasi pengaruh mempengaruhi.

Luasnya geografis kabupaten pula mendorong seorang wartawan musti memilih berkelompok ataukah memilih "berjalan sendiri". Sosok single fighter kadang dikarenakan dua hal, pertama kemauannya belajar, kedua karena kemampuannya. Kelompok wartawan bergerombol secara tidak langsung menunjukkan bahwa budaya gotong royong dapat meringankan pekerjaan.

Lalu apa masalah dari uraian penulis? Saya tidak menyampaikan persoalan karakter wartawan, cara kerja ataukah pilihan berita berdasar mood dan pembacaan dampak atau pelaksanaan fungsi media. Aku hanya membeberkan opini dari pemandangan di selatan. Lalu apa sebab ada pengaburan pandang dan "kegagalan" menangkap parahnya kehidupan?

Sekedar beropini, berkehidupan, bermasyarakat tidak bisa lepas dari kepentingan-kepentingan. Kepentingan-kepentingan ini kemudian berpengaruh langsung tidak langsung pada wartawan atau jurnalis. Penulis ragu terhadap kesadaran wartawan apakah ia menyadari apa yang telah dilakukannya, ketika berdiri cenderung di sisi kepentingan tertentu.

Ada tiga kepentingan perlu diperhatikan. Pertama kepentingan pribadi, kelompok dan masyarakat. Kepentingan pribadi bisa saja melibatkan penguasa atau orang berduit. Kepentingan penguasa yakni orang-orang besar yang memiliki tiga hal. Uang, massa dan jabatan.

Pertanyaan muncul di jaman edan seperti sekarang. Cukup bijakkah seorang wartawan memilih terlibat kepentingan-kepentingan itu tanpa menjaga esensi pekerjaannya. Apakah ia atau mereka membela nilai kemanusiaan karena kepentingan penguasa? sadarkah akan menjaga martabat profesi dan nilai etik jurnalis universal?

Tergelitik saya ketika seorang wartawan kota menulis status BBM-nya : "tidak mudah belajar menjadi pelacur...". Bila ada konflik batin dikandung wartawan, boleh jadi ada kegusaran diri atas pilihannya baik ataukah benar. Sedang jika tidak ada konflik batin sedikit pun, maka perlu dipertanyakan motivasi dia menjadi wartawan.

Sebatas mengingatkan, kode etik wartawan menyebutkan nilai independen dan obyektif. Sudah cukupkah wartawan independen? Sementara martabat seseorang bergantung pada "pakaian". Etika wartawan merupakan pakaian. Bila ia 'telanjang', maka buruklah martabat dia dan bisa saja disebut orang gila.

Tengah malam lalu, saya benar-benar bersedih. Seseorang entah siapa mengirim SMS, "Kamu wartawan tidak punya etika, wartawan gila". Timbul gejolak diri sesaat. Dari beritakah yang tidak obyektif ataukah gaya atau karakter saya. Saya pun kuatir apakah dikarenakan adanya stigma buruk seseorang akibat budaya berkelompok ataukah pilihan menjadi single fighter.

Saya lalu membalas sms tersebut dengan permohonan maaf bila ada berita yang tidak obyektif dan menawarkan hak koreksi bila ada kesalahan tulis. Sedang untuk etika diri, saya menyampaikan bahwa gaya karakter pribadi memang seperti itu. Yang jelas, saya belajar berubah dan memperbaiki diri. Terus menjaga sekuat tenaga profesi dan martabat--dengan meminimalisir "menjual" diri atau "berita".

Selamat menjadi wartawan atau jurnalis, saudara. Pekerjaan kita adalah ibadah kepada Nya. Kita tidak harus menjadi pelacur, pedagang atau lebih rendah dari orang gila. Kita bukan siapa-siapa. Semoga berita kita menjadi amal dan saksi kelak apa yang sebenarnya dikandung niatan hati.  Amin

Untuk 9 Februari 2015, tetap berjuang, Malang

Tuesday, July 22, 2014

Kodok Iseng Sendiri

“Hai, kodok ngorek, siapalagi yang masih mendengarkan nyanyian ketulusanmu ?”celutuk lamunanku. Ya, mungkin cuma gemerusuk lengang jadi teman setia kita saat memuncak malam itu. Jangan tanyakan perkara ketahanan baterai Blackberrymu, terlebih listrik padam.

Baru tadi aku ngobrol soal kematian. Tapi mesti terbentur salah paham. Berkali-kali coba mengerti maksud pikirannya—yang umumnya orang—menganggapnya persoalan tabu untuk dibicarakan. Bicara soal mati itu pamali. Huh ….

Mati, siapa saja nantinya tuntas, entah kapan. Sepulang kerja, terpasang bendera putih palang hitam di gapura hitam kampung.

Tunduk tak bergeming, angin berhembus hening. Baru terpasang. Sampai di depan pintuku sendiri, entah dimana kodok-kodok ngorek itu bernyanyi. Soal hidup ataukah ajal.

Perkara apapun itu, aku sepakat. Hidup mati urusan Yang Di Atas. Tapi apa salah ataukah tidak etis mempertanyakannya pada dia—tempatku belajar membaca cinta, membaca diri, dari dalam seutuhnya.

Toh, belum sampai berkasih-kasihan, ujungnya amarah tanpa nalar. “Itu urusan nanti cox !” pisuhnya pelan, tulus.

Resiko kerjanya mati. Wartawan bisa mati. Seperti kasus-kasus di luar sana, di luar negeri. Apalagi di negeri yang apapun bisa terjadi. Tinggal kenangan, terlupakan atau sesaat saja lalu diingat kembali jadi bahan berita naif. Begitu juga aku, manusia abu-abu ini. Semoga bukan bunglon.

Teringat seorang rekan wartawati pernah bilang, “Hidup itu pilihan, kita kuli, manusia. Stres jadi bagian hidup ini bukan ?”. Seorang polisi juga sangat yakin berkata, seusai sembahyang, “Memilih itu kita hidup”. Milih abu-abu, putih, hitam sekalian atau bunglon?

Bagiku semuanya berdiri, berjalan di ruang waktu berbeda. Kemunafikan juga berhak memiliki waktu dan jalannya. Begitu juga kodok ngorek. Toh bagaimana bisa, wartawan yg rajin menghadap Tuhan lalu selepasnya shalat mau berpikiran jahat? Memeras pejabat semisal atau seorang bandar togel. haha …..

Korupsi diri. Barangkali masalah terbesar hidup di Indonesia ini. Lepas dari kompleks bagian kehidupan. Hidup penuh konflik batin, dengan ujung tombak kematian begitu dekat. Di tangan sendiri. Kata ibarat pedang di pangkal—sejatining diri. Tinggal menunggu terpicu pelatuknya. Dor !!

Lagi, aku melulu diam saja waktu tulisan ocehan masturbasiku nge-share di BBM grup. Bukan iseng. Sontak tersentil omongan Yoga, ‘mari ngentut ta San ?’. “Iyo Mas, mosok sehampar rindu entute krungu sampai Panjen”. Hahay

Siapa mau mati? Chairil Anwar tidak : Aku mau hidup seribu tahun lagi. Sama. Pun aku, dia dan banyak orang nge-klaim jadi “binatang jalang”. Begitu wartawan yang kuyakini jika 8 dari 9 itu suka amplop, kita sama-sama binatang jalang.

Sebuah cerita koran lokal semisal. Bergaji jauh di bawah rata-rata gaji UMR kotanya sendiri. Haruskah tunduk pada orang berduit ? Selembar kertas yang nominal gajinya kalah sama loper koran. Bukan masalah besar dan bahwasanya konflik batin kami tidak semua orang mengerti atau sekedar mau.

Makanya tidak keliru aku tanyakan dia—soal bagaimana sikapnya jika aku lalu mendadak hilang kabar, selamanya. Jadi wartawan kriminal itu paling dekat dengan kematian, kehidupan, kemunafikan bahkan keajaiban.

Di kota sebut saja kota nan malang, cara mati itu murah, mudah malah kadang perlu. Seorang preman pernah bilang, “Lewat situ, telpon xxxxxxxxx, bayar Rp 250 ribu beres wes, “ katanya sambil cengar-cengir bergaya khas berkacak pinggang.
Jangan heran lantas sering mayat mayat bernama X disebut-sebut mati tanpa kejanggalan. Lain lagi menyebut T4—tidak tinggal menetap alias gelandangan.

Siapa tidak bergidik, jika banyak pembunuh bayaran berkeliaran ? Pernah dulu, seorang buruh tani di belakang pasar mengaku sempat merekam pembuangan mayat dari glangsi. Dibuang bak sampah.
Si mayat bertato, lehernya berlubang dua sisi. Kakinya pincang sebelah. Kata seorang Ajun Komisaris Polisi itu mati wajar. Mungkin terbentur batuan sungai. Duh, petrus (penembakan misterius—tahun 1970-an) masih ada. Gaya lain.

Lain lagi, preman sok ingin bunuh temanku. “Weruh iku mobile wes ta tabrak, “ pungkas ceramahnya memekik bernada guyon. “Yo ojo Mas, aku ndek jerone mobile. Mosok gelem kilangan dulur ?” senyumku kecut menahan keluh.

Bersyukur temanku selamat. Sayangnya tidak untuk preman bertato pincang. Kata seorang preman lain, dia pelaku kawakan. Apa ya harus gitu. Dia bukannya manusia?

“Makanya dik. Apa yang kau pikirkan, rasakan waktu aku hilang kabar. Aku mati semisal ?” Waktu sudah puncak malam, listrik masih padam. Tak ada jawaban.

Mungkin sampai besok siang. Nyanyian dzikir kodok dan jengkerik kalahkan gemericik air got dari bawah rumahku. Baru kusadari perjuangan almarhum bapak. Bayang-bayang terlukis jelas di tembok papan gerobak sampah.

Dalam hati, wartawan mana beristrikan Ikhlas ditinggalkan sewaktu-waktu? Istri dan wanita mana yang mau dimadu waktu karaoke sama purel ? Atau wanita mana yang menerima kerjaan wartawan kriminal—yang mungkin saja waktu berasyik-masyuk, musti tuntas. Belum klimaks sungguh.

Kopiku dingin. Kudengarkan raungan hati. Kodok ngorek tetap menyanyikan sehimpun ketulusan, mungkin juga doa…

Ditayangkan memoarema.com pada Rabu, 24/04/2013 23:54 WIB

Monday, June 16, 2014



Keabadian Dolly Terkubur di Malang


Malang (Dimuat di Harian Pagi Memo Arema, Selasa (17 Juni 2014)

Beribu orang membicarakan dan “mungkin akan” mengenang Lokalisasi Dolly, tapi kenangan dan keabadian Dolly benar-benar terkubur di makam Belanda, Sukun Malang. Dolly oh Dolly,...

Ibarat “panasnya” pro kontra penutupan lokalisasi Dolly di Surabaya yang liar, begitu pula rumput liar dan daun kering di atas pusara peristirahatan Dolly—wanita keturunan Belanda-Birma yang “melambungkan dan membesarkan” nama kompleks lokalisasi ke seantereo negeri. Ya, rumah keabadian Dolly seolah dilupakan demi kepentingan politik, lahan pencarian sandang pangan. Tanpa doa dan ziarah kubur.

Memo mencatat berbagai referensi dan wawancara seputar Dolly. Diakui banyak orang, Dolly diyakini sebagai pendiri kompleks lokalisasi Dolly meski Pi’i (dilansir dari http://kelanakota.suarasurabaya.net/news/2014/135806-Papi-Dolly-Bukan-yang-Pertama-di-Gang-Dolly) bukanlah tempat bisnis “lendir” kali pertama.

Bisnis esek-esek justru “dibuahi” pribumi warga Jarak Surabaya dengan sebutan warung Tekate. Dolly sendiri hadir mencium peluang “pasar”. Ia lalu berpindah (1966) dari Jarak dan mendirikan wisma di makam Kembang Kuning dekat dengan Masjid Rahmat (gang Dolly). Pengubahan makam Tionghoa di Putat Jaya menjadi perkampungan kemudian menjadi berkah dan Dolly kian terkenal (1980-1990).

Disebut pula dalam buku "Dolly : Membedah dunia Pelacuran Surabaya" yang diterbitkan Grafiti Pers, April 1982, karangan Tjahyo Purnomo Wijadi-Ashadi Siregar, bahwa tahun 1966, Dolly menginginkan dipanggil Papi Dolly. Wisma Mami Dolly, Tante Dolly, Papi Dolly itu berawal di Pandegiling, pindah ke Kembang Kuning dan Gang Dolly.

Namun usia manusia kian “beruban” dibumbui permasalahan hidup. Ia berpisah dengan suaminya seorang pelaut. Dolly Chavid—nama pendek—Dolira Advonso Chavid berpindah ke Malang. Faktanya, Dolly berpulang di bumi Aremania pada wafat 7 Januari 1992.  Timbul pertanyaan lain menjadi “teka-teki”, apa sebab Dolly menghabiskan masa tua di Kota Malang dan keluarga memilih menguburkan Dolly di Malang?

Minggu (15/6) sore, wartawan Memo dan Aan, salah satu wartawan Elektronik berkeliling di sisi Utara dan Barat hanya untuk mencari keberadaan makam Dolly di pemakaman Belanda Sukun (belakang SPBU Sukun). Dua tiga orang sempat mengaku tidak mengetahuinya, termasuk warga kampung terdekat. Nggletek alias ternyata, makam ini tidak sulit ditemukan.

Senin (15/6) pagi, makam Dolly masih terlihat berdiri kokoh. Tiga orang penjaga dan pembersih makam menyakini dan mengenalnya sebagai Mami Dolly. “Disini Mami Dolly ya disitu Mas. Ada dua makamnya, satu makam Mami Dolly dan anaknya yang namanya Eddy, “ ungkap Masaki. “Lek nang kono, terus yo mrono Mas, (Kalau ke situ, ya terus ke sana (makam Eddy).

Makamnya tidak semewah komplek lokalisasi atau makam orang kaya lainnya. Terbilang ukuran standar biaya Rp 3-4 jutaan, makam Dolly dibangun di atas lahan seluas 10 hektare lebih itu. Bukan nama Dolly akan terbaca. Bukan pula Dolly Van Der Mert (nama orangtuanya).  Khas makam kristen, ada salip. Panjangnya 2 meteran. Rumput liar tumbuh seolah simbol tidak pernah keluarga berziarah untuk membersihkannya.


Di batu nisan yang diyakini makam Mami Dolly itu tertulis nama D. A Chavid. Kelahiran 15 September 1929 dan wafat pada 7 Januari 1992. Tertulis nama anak dan menantu, diantaranya Eddy Y, B Harianto, Sutejo, R Budiono, Andi P, Maria S. Menantunya bernama Dra Watik, Napsiah SH, Lina Darlinah, Rosa. Makam lain yang disebut-sebut biasa dikunjungi cucu atau cicit atau keluarga Dolly yakni Eduard Soukup Eddy, kelahiran 1944 dan meninggal pada 1999.

“Sejak Eddy meninggal, sudah jarang keluarga berziarah dan mendoakan Dolly, “ ungkap Masaki disamping Lesus dan Heri, Senin (16/6) sore. “Kalau ada, mungkin ya cucu cicitnya Mas, “ sebut Lesus. Masaki lalu mengaku tidak mengetahui kapan terakhir keluarga Dolly datang di Sukun.

Sementara itu, Henry (58) mengaku warga Ngreco, Sumberpucung asal Blitar mengaku sekilas mengetahui sedikit banyak soal Dolly. Dari pengalaman memijat banyak orang, Henry mendapat cerita berharga, termasuk sejarah Lokalisasi Dolly. Ia pernah bertemu seorang pelaut yang masih kerabat dengan Dolly Van Dert Mart. Siapa sangka dilontarkan Henry.

Henry mengungkap bahwa Dolly merupakan anak salah satu pejabat besar di Batavia (Jakarta masa itu). "Dulu hanya melayani pelaut dan pedagang yang singgah di pelabuhan. (keliru bila di beberapa referensi menyebut melayani tentara), " ungkap Henry. "Van Der Mart itu nama keluarganya. Dia keturunan Belanda. Ada keluarganya masih hidup, " tambah Henry. Sayangnya, ia lupa dimana letak persis rumah Dolly menghabiskan masa tuanya.

Ia lalu menambahkan dari cerita pasiennya, ada beberapa pejabat menemui keluarga Dolly. "Maksudnya minta restu. Kenapa kok sulit, " papar Henry, Minggu (15/6) siang saat ditemui di seputaran Kepanjen. Kata Henry, soal permohonan restu dan doa baik dari pihak Pro ataupun Kontra sudah menjadi isu kasep—(bahasa Jawa : Terlambat). Bagi Henry, dunia lokalisasi berwarna “hitam”.

Lepas dari kasak kusuk dipanggilnya Papi Dolly usai berpisah dengan sang suami karena sakit hati dan perdebatan pro kontra jelang penutupan Dolly (18 Juni mendatang), kenangan dan Dolly terkubur di Malang.

Mahendra PW, dalam kutipan penggalan puisinya berjudul “Kepada Doly Van Der Mart” (Kompasiana, 11 Jun 2014) menuliskan, “...Oh Dolly Van Der Mart Dengarkan pertentanganku Dan dengarkan pernyataanku Setidaknya mahakaryamu telah mengurangi jumlah pemerkosaan Juga jumlah pasangan mesum di jalanan…Tjahjono Widarmanto, penyair, pimpinan majalah Sastra Kalimas (Esai di Jawa Pos Senin 16 Juni 2014) menuliskan, .”..Dolly oh Dolly, apa pun nasibmu … nanti, kau akan abadi dalam perbincangan dan kenangan… Dolly oh Dolly. Oh, Dolly…”.

Mengutip lirik lagu “You Are” penyanyi legendaries Amerika yang kebetulan sama bernama Dolly (Dolly Rebecca Parton), lirik lagu itu menyiratkan detik-detik situasi Dolly bak buah simalakama. “Sometimes I try to count the ways and reasons that I love you… You are my inspiration, you are the song I sing… You are what makes me happy, you are my everything” (Kadang-kadang saya mencoba untuk menghitung cara dan alasan bahwa aku mencintaimu ... kamu inspirasi saya, kamu adalah lagu yang saya nyanyikan ... kamu adalah apa yang membuat saya senang, Anda adalah segalanya). (Santoso FN)