Jurnalis Bukan Profesi Ekslusif
Lima tahun lebih menjadi penulis rekontruksi di selatan Kabupaten Malang, tidak membuat saya lebih jelas memandang seberapa parah kehidupan. Beberapa hal mengaburkan batas pandang antara kebenaran dan kebaikan. Saya sepakat, kenyataan pahit pun musti dikabarkan. Belum tentu benar itu baik, kebaikan itu benar.
Seorang polisi pernah mengatakan, bila ia menjalankan tugasnya sebagaimana aturan berlaku dan nurani, maka akan banyak orang ditangkapnya. "Bila mata terpejam, semua bisa ditangkap, bila mata terbuka, tidak bisa kita menangkap semua orang karena kesalahannya".
Seorang rampok juga pernah berceletuk, "Tidak semua orang saya jambret". Preman yang saya kenal pun menyebut "bila seorang maling pun punya rejeki dari Atas. Tidak perlu berlebihan merasa memiliki arti".
Dalam hati, aku menerima pernyataan-pernyataan itu. Suatu yang berlebihan selalu tidak baik. Memandang sesuatu, membela kebenaran dan kebaikan pun tak 'seharusnya' total berlebihan. Mengalir saja, tanpa tujuan dan alasan, kadang perlu dikandung diri. Ikhlas, sehingga tidak terlalu fatal bersalah jika ada "kepentingan lain".
Menjadi wartawan, "Semua peristiwa dan kejadian bisa saja dikabarkan. Tapi tidak semua baik dikabarkan". Nanti, tergantung rasa malas, mood, pertimbangan lain dan sanksi juga kekuatiran dampak. Tanpa "membaca" dampak berita, seorang wartawan menjadi bodoh. Lebih-lebih jika berdampak pada kemanusiaannya sendiri.
Dari lima tahun di selatan, saya mempelajari karakter beberapa macam wartawan. Motivasi mereka, gaya, teknis dan pilihan-pilihan mereka. Adakala seorang wartawan menjadi "abu-abu", kalah dengan situasi, tunduk pada uang, terseret arus, berpolitik, membela kepentingan besar ataupun terbiasa menjadi biasa saja.
Ada wartawan dan jurnalis. Tanpa membedakan esensi kerjanya, Saya sepakat menyebut wartawan adalah pekerjaan memberitakan peristiwa 'terpilih' rutin. Lepas dari kesadaran personal seperti pada kemanusiaan ataukah kebenaran. Sedang jurnalis, musti menjaga kesadaran akan dua hal itu.
Artinya, wartawan bekerja sebagai pelaksanaan tugas pokok sehari-hari. Memberitakan peristiwa. Sementara jurnalis menyisipkan 'nilai-nilai' humanis dalam karyanya, senyampang alam bawah sadar--membela kemanusiaan, menentang keadilan dan menjalankan fungsi media sebagai sosial kontrol, edukasi.
Nilai signifikan produk wartawan, menurut saya perlu menekankan nilai sosial kontrol dan edukasi. Ya, sebab menurut penulis, lebih baik berkarya tidak sekedar menyampaikan nilai informasi dan entertainmen. Nilai sosial kontrol, edukasi, kritik dan perbaikan sistem yang bobrok menjadi keutamaan tujuan jurnalis.
Di selatan, sebatas pembagian karakter dari motivasi kerja. Masing-masing bekerja selayaknya wartawan. Meski tidak semua melaksanakan nilai sang jurnalis. Dua hal dapat menjadi contoh yakni tidur, makan, guyon. Hanya orang-orang tertentu, wartawan berdiskusi, "menularkan ilmu", menyebar wawasan. Semua tidak lepas dari motivasi kerja dan karakter personal.
Tiga model wartawan yakni wartawan biasa, sibuk, setengah hati. Wartawan biasa akan melaksanakan pekerjaan sesuai porsinya. Wartawan sibuk selalu memanfaatkan waktu untuk berkarya. Entah karena memandang kemanusiaan ataukah kepentingan tertentu. Ada pula setengah hati. Ia memilih "tidur" ataukah liputan bila ada mood.
Dari sudut waktu, ada wartawan sesuai jam kerja atau setengah hari (8 jam kerja), wartawan kala-kala sesuai pilihan mood atau nilai bobot berita dan ada pula wartawan silaturahim. Pada momen tertentu ia datang. Menyapa dan bersalaman.
Nah, status seorang wartawan juga menentukan nilai kerjanya. Kecenderungan sudah berkeluarga, boleh jadi wartawan siang-sore yang "tidak mungkin" melihatnya di TKP jika peristiwa malam hari. Adapula yang tergantung mood meski statusnya sudah beristri. Kecuali acara kebersamaan semisal karaoke malam.
Dari sudut pentingnya menjaga relasi, ada wartawan yang menyadari pentingnya menjaga sumber informasi. Ada pula yang tidak menyadari tapi 'membeo' wartawan sosok pertama--karena kualitas skill kurang mumpuni dalam hal komunikasi pengaruh mempengaruhi.
Luasnya geografis kabupaten pula mendorong seorang wartawan musti memilih berkelompok ataukah memilih "berjalan sendiri". Sosok single fighter kadang dikarenakan dua hal, pertama kemauannya belajar, kedua karena kemampuannya. Kelompok wartawan bergerombol secara tidak langsung menunjukkan bahwa budaya gotong royong dapat meringankan pekerjaan.
Lalu apa masalah dari uraian penulis? Saya tidak menyampaikan persoalan karakter wartawan, cara kerja ataukah pilihan berita berdasar mood dan pembacaan dampak atau pelaksanaan fungsi media. Aku hanya membeberkan opini dari pemandangan di selatan. Lalu apa sebab ada pengaburan pandang dan "kegagalan" menangkap parahnya kehidupan?
Sekedar beropini, berkehidupan, bermasyarakat tidak bisa lepas dari kepentingan-kepentingan. Kepentingan-kepentingan ini kemudian berpengaruh langsung tidak langsung pada wartawan atau jurnalis. Penulis ragu terhadap kesadaran wartawan apakah ia menyadari apa yang telah dilakukannya, ketika berdiri cenderung di sisi kepentingan tertentu.
Ada tiga kepentingan perlu diperhatikan. Pertama kepentingan pribadi, kelompok dan masyarakat. Kepentingan pribadi bisa saja melibatkan penguasa atau orang berduit. Kepentingan penguasa yakni orang-orang besar yang memiliki tiga hal. Uang, massa dan jabatan.
Pertanyaan muncul di jaman edan seperti sekarang. Cukup bijakkah seorang wartawan memilih terlibat kepentingan-kepentingan itu tanpa menjaga esensi pekerjaannya. Apakah ia atau mereka membela nilai kemanusiaan karena kepentingan penguasa? sadarkah akan menjaga martabat profesi dan nilai etik jurnalis universal?
Tergelitik saya ketika seorang wartawan kota menulis status BBM-nya : "tidak mudah belajar menjadi pelacur...". Bila ada konflik batin dikandung wartawan, boleh jadi ada kegusaran diri atas pilihannya baik ataukah benar. Sedang jika tidak ada konflik batin sedikit pun, maka perlu dipertanyakan motivasi dia menjadi wartawan.
Sebatas mengingatkan, kode etik wartawan menyebutkan nilai independen dan obyektif. Sudah cukupkah wartawan independen? Sementara martabat seseorang bergantung pada "pakaian". Etika wartawan merupakan pakaian. Bila ia 'telanjang', maka buruklah martabat dia dan bisa saja disebut orang gila.
Tengah malam lalu, saya benar-benar bersedih. Seseorang entah siapa mengirim SMS, "Kamu wartawan tidak punya etika, wartawan gila". Timbul gejolak diri sesaat. Dari beritakah yang tidak obyektif ataukah gaya atau karakter saya. Saya pun kuatir apakah dikarenakan adanya stigma buruk seseorang akibat budaya berkelompok ataukah pilihan menjadi single fighter.
Saya lalu membalas sms tersebut dengan permohonan maaf bila ada berita yang tidak obyektif dan menawarkan hak koreksi bila ada kesalahan tulis. Sedang untuk etika diri, saya menyampaikan bahwa gaya karakter pribadi memang seperti itu. Yang jelas, saya belajar berubah dan memperbaiki diri. Terus menjaga sekuat tenaga profesi dan martabat--dengan meminimalisir "menjual" diri atau "berita".
Selamat menjadi wartawan atau jurnalis, saudara. Pekerjaan kita adalah ibadah kepada Nya. Kita tidak harus menjadi pelacur, pedagang atau lebih rendah dari orang gila. Kita bukan siapa-siapa. Semoga berita kita menjadi amal dan saksi kelak apa yang sebenarnya dikandung niatan hati. Amin
Untuk 9 Februari 2015, tetap berjuang, Malang
Lima tahun lebih menjadi penulis rekontruksi di selatan Kabupaten Malang, tidak membuat saya lebih jelas memandang seberapa parah kehidupan. Beberapa hal mengaburkan batas pandang antara kebenaran dan kebaikan. Saya sepakat, kenyataan pahit pun musti dikabarkan. Belum tentu benar itu baik, kebaikan itu benar.
Seorang polisi pernah mengatakan, bila ia menjalankan tugasnya sebagaimana aturan berlaku dan nurani, maka akan banyak orang ditangkapnya. "Bila mata terpejam, semua bisa ditangkap, bila mata terbuka, tidak bisa kita menangkap semua orang karena kesalahannya".
Seorang rampok juga pernah berceletuk, "Tidak semua orang saya jambret". Preman yang saya kenal pun menyebut "bila seorang maling pun punya rejeki dari Atas. Tidak perlu berlebihan merasa memiliki arti".
Dalam hati, aku menerima pernyataan-pernyataan itu. Suatu yang berlebihan selalu tidak baik. Memandang sesuatu, membela kebenaran dan kebaikan pun tak 'seharusnya' total berlebihan. Mengalir saja, tanpa tujuan dan alasan, kadang perlu dikandung diri. Ikhlas, sehingga tidak terlalu fatal bersalah jika ada "kepentingan lain".
Menjadi wartawan, "Semua peristiwa dan kejadian bisa saja dikabarkan. Tapi tidak semua baik dikabarkan". Nanti, tergantung rasa malas, mood, pertimbangan lain dan sanksi juga kekuatiran dampak. Tanpa "membaca" dampak berita, seorang wartawan menjadi bodoh. Lebih-lebih jika berdampak pada kemanusiaannya sendiri.
Dari lima tahun di selatan, saya mempelajari karakter beberapa macam wartawan. Motivasi mereka, gaya, teknis dan pilihan-pilihan mereka. Adakala seorang wartawan menjadi "abu-abu", kalah dengan situasi, tunduk pada uang, terseret arus, berpolitik, membela kepentingan besar ataupun terbiasa menjadi biasa saja.
Ada wartawan dan jurnalis. Tanpa membedakan esensi kerjanya, Saya sepakat menyebut wartawan adalah pekerjaan memberitakan peristiwa 'terpilih' rutin. Lepas dari kesadaran personal seperti pada kemanusiaan ataukah kebenaran. Sedang jurnalis, musti menjaga kesadaran akan dua hal itu.
Artinya, wartawan bekerja sebagai pelaksanaan tugas pokok sehari-hari. Memberitakan peristiwa. Sementara jurnalis menyisipkan 'nilai-nilai' humanis dalam karyanya, senyampang alam bawah sadar--membela kemanusiaan, menentang keadilan dan menjalankan fungsi media sebagai sosial kontrol, edukasi.
Nilai signifikan produk wartawan, menurut saya perlu menekankan nilai sosial kontrol dan edukasi. Ya, sebab menurut penulis, lebih baik berkarya tidak sekedar menyampaikan nilai informasi dan entertainmen. Nilai sosial kontrol, edukasi, kritik dan perbaikan sistem yang bobrok menjadi keutamaan tujuan jurnalis.
Di selatan, sebatas pembagian karakter dari motivasi kerja. Masing-masing bekerja selayaknya wartawan. Meski tidak semua melaksanakan nilai sang jurnalis. Dua hal dapat menjadi contoh yakni tidur, makan, guyon. Hanya orang-orang tertentu, wartawan berdiskusi, "menularkan ilmu", menyebar wawasan. Semua tidak lepas dari motivasi kerja dan karakter personal.
Tiga model wartawan yakni wartawan biasa, sibuk, setengah hati. Wartawan biasa akan melaksanakan pekerjaan sesuai porsinya. Wartawan sibuk selalu memanfaatkan waktu untuk berkarya. Entah karena memandang kemanusiaan ataukah kepentingan tertentu. Ada pula setengah hati. Ia memilih "tidur" ataukah liputan bila ada mood.
Dari sudut waktu, ada wartawan sesuai jam kerja atau setengah hari (8 jam kerja), wartawan kala-kala sesuai pilihan mood atau nilai bobot berita dan ada pula wartawan silaturahim. Pada momen tertentu ia datang. Menyapa dan bersalaman.
Nah, status seorang wartawan juga menentukan nilai kerjanya. Kecenderungan sudah berkeluarga, boleh jadi wartawan siang-sore yang "tidak mungkin" melihatnya di TKP jika peristiwa malam hari. Adapula yang tergantung mood meski statusnya sudah beristri. Kecuali acara kebersamaan semisal karaoke malam.
Dari sudut pentingnya menjaga relasi, ada wartawan yang menyadari pentingnya menjaga sumber informasi. Ada pula yang tidak menyadari tapi 'membeo' wartawan sosok pertama--karena kualitas skill kurang mumpuni dalam hal komunikasi pengaruh mempengaruhi.
Luasnya geografis kabupaten pula mendorong seorang wartawan musti memilih berkelompok ataukah memilih "berjalan sendiri". Sosok single fighter kadang dikarenakan dua hal, pertama kemauannya belajar, kedua karena kemampuannya. Kelompok wartawan bergerombol secara tidak langsung menunjukkan bahwa budaya gotong royong dapat meringankan pekerjaan.
Lalu apa masalah dari uraian penulis? Saya tidak menyampaikan persoalan karakter wartawan, cara kerja ataukah pilihan berita berdasar mood dan pembacaan dampak atau pelaksanaan fungsi media. Aku hanya membeberkan opini dari pemandangan di selatan. Lalu apa sebab ada pengaburan pandang dan "kegagalan" menangkap parahnya kehidupan?
Sekedar beropini, berkehidupan, bermasyarakat tidak bisa lepas dari kepentingan-kepentingan. Kepentingan-kepentingan ini kemudian berpengaruh langsung tidak langsung pada wartawan atau jurnalis. Penulis ragu terhadap kesadaran wartawan apakah ia menyadari apa yang telah dilakukannya, ketika berdiri cenderung di sisi kepentingan tertentu.
Ada tiga kepentingan perlu diperhatikan. Pertama kepentingan pribadi, kelompok dan masyarakat. Kepentingan pribadi bisa saja melibatkan penguasa atau orang berduit. Kepentingan penguasa yakni orang-orang besar yang memiliki tiga hal. Uang, massa dan jabatan.
Pertanyaan muncul di jaman edan seperti sekarang. Cukup bijakkah seorang wartawan memilih terlibat kepentingan-kepentingan itu tanpa menjaga esensi pekerjaannya. Apakah ia atau mereka membela nilai kemanusiaan karena kepentingan penguasa? sadarkah akan menjaga martabat profesi dan nilai etik jurnalis universal?
Tergelitik saya ketika seorang wartawan kota menulis status BBM-nya : "tidak mudah belajar menjadi pelacur...". Bila ada konflik batin dikandung wartawan, boleh jadi ada kegusaran diri atas pilihannya baik ataukah benar. Sedang jika tidak ada konflik batin sedikit pun, maka perlu dipertanyakan motivasi dia menjadi wartawan.
Sebatas mengingatkan, kode etik wartawan menyebutkan nilai independen dan obyektif. Sudah cukupkah wartawan independen? Sementara martabat seseorang bergantung pada "pakaian". Etika wartawan merupakan pakaian. Bila ia 'telanjang', maka buruklah martabat dia dan bisa saja disebut orang gila.
Tengah malam lalu, saya benar-benar bersedih. Seseorang entah siapa mengirim SMS, "Kamu wartawan tidak punya etika, wartawan gila". Timbul gejolak diri sesaat. Dari beritakah yang tidak obyektif ataukah gaya atau karakter saya. Saya pun kuatir apakah dikarenakan adanya stigma buruk seseorang akibat budaya berkelompok ataukah pilihan menjadi single fighter.
Saya lalu membalas sms tersebut dengan permohonan maaf bila ada berita yang tidak obyektif dan menawarkan hak koreksi bila ada kesalahan tulis. Sedang untuk etika diri, saya menyampaikan bahwa gaya karakter pribadi memang seperti itu. Yang jelas, saya belajar berubah dan memperbaiki diri. Terus menjaga sekuat tenaga profesi dan martabat--dengan meminimalisir "menjual" diri atau "berita".
Selamat menjadi wartawan atau jurnalis, saudara. Pekerjaan kita adalah ibadah kepada Nya. Kita tidak harus menjadi pelacur, pedagang atau lebih rendah dari orang gila. Kita bukan siapa-siapa. Semoga berita kita menjadi amal dan saksi kelak apa yang sebenarnya dikandung niatan hati. Amin
Untuk 9 Februari 2015, tetap berjuang, Malang